Thursday, June 15, 2006

Kenyataan Jaringan Islam Liberal Di Indonesia

“Di Indonesia, penyebaran fahaman ini sudah sangat meluas, dilakukan oleh para tokoh, cendikiawan, dan para pengasong idea-idea liberal. Berikut ini pernyataan-pernyataan mereka:

a. Ulil Abshar Abdalla mengatakan: "Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar." (Majalah GATRA, 21 Disember 2002). Ulil juga menulis: "Dengan tanpa rasa sungkan dan kekok, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Maha Benar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeza-beza dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: iaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada hujungnya." (Kompas, 18-11-2002, dalam artikelnya berjudul "Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam)".

Idea Ulil tentang agama ini berimbas pada masalah hukum perkahwinan antara agama, yang akhirnya ditegaskan kembali keharamannya oleh fatwa MUI. Dalam artikelnya di Kompas (18/11/2002) tersebut, Ulil juga menyatakan: "Larangan kahwin beza agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi."

b. Budhy Munawar Rahman, penulis buku Islam Pluralis, di buku Wajah Liberal Islam di Indonesia (terbitan JIL), menulis, satu artikel berjudul "Basis Teologi Persaudaraan Antara Agama" (hal. 51-53). Di sini, ia mempromosikan teologi pluralis. la menulis bahawa "Konsep teologi semacam ini memberikan legitimasi kepada "kebenaran semua agama", bahawa pemeluk agama apa pun layak disebut sebagai "orang yang beriman", dengan makna "orang yang percaya dan menaruh percaya kepada Tuhan". Kerana itu, sesuai QS 49:10-12, mereka semua adalah bersaudara dalam iman."

Budhy menyimpulkan, "Kerananya, yang diperlukan sekarang ini dalam penghayatan masalah Pluralisme antara agama, yakni pandangan bahawa siapapun yang beriman tanpa harus melihat agamanya apa adalah sama di hadapan Allah. Kerana, Tuhan kita semua adalah Tuhan Yang Sama." (8)

c. Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, dosen UIN Yogyakarta, menulis: "Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahawa syurga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap agama memasuki kamar syurganya. Syarat memasuki syurga ialah keikhlasan pembebasan manusia daripada kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan, tanpa melihat agamanya. Inilah jalan universal syurga bagi semua agama. Dari sini kerjasama dan dialog pemeluk berbeza agama jadi mungkin" (9)

d. Prof. Dr. Nurcholish Madjid, menyatakan, bahawa ada tiga sikap dialog agama yang dapat diambil. laitu, pertama, sikap eksklusif dalam melihat agama lain (agama-agama lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya). Kedua, sikap inklusif (agama-agama lain adalah bentuk implisit agama kita). Ketiga, sikap pluralis yang bisa terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya: "Agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama", "Agama-agama lain berbicara secara berbeza, tetapi merupakan kebenaran-kebenaran yang sama sah", atau "Setiap agama mengekspresikan bahagian penting sebuah kebenaran".

Lalu, tulis Nurcholish lagi, "Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai contoh, filsafat paranial yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antara agama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahawa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan daripada berbagai-bagai agama. Filsafat paranial juga membahagi agama pada level eksotrik (batin) dan eksotrik (lahir). Satu agama berbeza dengan agama lain dalam level eksotrik, tetapi relatif sama dalam level eksotriknya. Oleh kerana itu ada istilah "Satu Tuhan Banyak Jalan"." (10)

Nurcholish Madjid juga menulis: "Jadi Pluralisme sesungguhnya adalah sebuah Aturan Tuhan (Sunnat Allah, "Sunnatullah") yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari." (11)


f. Dr. Alwi Shihab menulis: "Prinsip lain yang digariskan oleh Al-Quran, adalah pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan, dengan begitu, layak memperoleh pahala daripada Tuhan. Lagi-lagi, prinsip ini memperkukuh idea mengenai Pluralisme keagamaan dan menolak eksklusivisme. Dalam pengertian lain, eksklusivisme keagamaan tidak sesuai dengan semangat Al- Quran. Sebab Al-Quran tidak membeza-bezakan antara satu komuniti agama daripada lainnya." (12)

g. Sukidi, alumnus Fakultas Syariah IAIN Ciputat yang sangat aktif menyebarkan fahaman Pluralisme Agama, menulis di koran Jawa Pos (11/1/2004): "Dan, konsekuensinya, ada banyak kebenaran (many truths) dalam tradisi dan agama-agama. Nietzsche menegasikan adanya Kebenaran Tunggal dan justeru bersikap afirmatif terhadap banyak kebenaran. Mahatma Gandhi pun seirama dengan mendeklarasikan bahawa semua agama - entah Hinduisme, Buddhisme, Yahudi, Kristian, Islam, Zoroaster, mahupun lainnya- adalah benar. Dan, konsekuensinya, kebenaran ada dan ditemukan pada semua agama. Agama-agama itu diibaratkan, dalam nalar Pluralisme Gandhi, seperti pohon yang memiliki banyak cabang (many), tapi berasal daripada satu akar (the One). Akar yang satu itulah yang menjadi asal dan orientasi agama-agama. Kerana itu, mari kita memproklamasikan kembali bahawa Pluralisme Agama sudah menjadi hukum Tuhan (sunnatullah) yang tidak mungkin berubah. Dan, kerana itu, mustahil pula kita melawan dan menghindari. Sebagai muslim, kita tidak punya jalan lain kecuali bersikap positif dan optimistik dalam menerima Pluralisme Agama sebagai hukum Tuhan."

h. Dr. Luthfi Assyaukanie, dosen Universitas Paramadina,menulis di Harian Kompas: "Seorang fideis Muslim, misalnya, bisa merasa dekat kepada Allah tanpa melewati jalur shalat kerana ia bisa melakukannya lewat meditasi atau ritus-ritus lain yang biasa dilakukan dalam persemadian spiritual. Dengan demikian, pengalaman keagamaan hampir sepenuhnya independen daripada aturan-aturan formal agama. Pada gilirannya, perangkat dan konsep-konsep agama seperti kitab suci, nabi, malaikat, dan lain-lain tak terlalu penting lagi kerana yang lebih penting adalah bagaimana seseorang bisa menikmati spiritualiti dan mentransendenkan dirinya dalam lompatan iman yang tanpa batas itu." (Kompas, 3/9/2000).

i. Nuryamin Aini, Dosen Fak. Syariah UIN Jakarta: "Tapi ketika saya mengatakan agama saya benar, saya tidak punya hak untuk mengatakan bahawa agama orang lain salah, apalagi kemudian menyalah-nyalahkan atau memaki-maki."(13)

Yang perlu diperhatikan oleh umat Islam, khususnya kalangan lembaga pendidikan Islam, adalah bahawa hampir seluruh LSM dan projek yang dibiayai oleh LSM-LSM Barat, seperti The Asia Foundation, Ford Foundation, adalah mereka yang bergerak dalam penyebaran fahaman Pluralisme Agama. Itu misalnya bisa dilihat dalam artikel-artikel yang diterbitkan oleh Jurnal Tashwirul Afkar (Diterbitkan oleh Lakpesdam NU dan The Asia Foundation), dan Jurnal Tanwir (diterbitkan oleh Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah dan The Asia Foundation). Mereka bukan saja menyebarkan fahaman ini secara asungan, tetapi memiliki program yang sistematis untuk mengubah kurikulum pendidikan Islam yang saat ini masih mereka anggap belum inklusif-pluralis.

Sebagai contoh, Jurnal Tashwirul Afkar edisi No. 11 tahun 2001, menampilkan laporan utama berjudul "Menuju Pendidikan Islam Pluralis". Ditulis dalam Jurnal ini:
"Filosofi pendidikan Islam yang hanya membenarkan agamanya sendiri, tanpa mahu menerima kebenaran agama lain mesti mendapat kritik untuk selanjutnya dilakukan reorientasi. Konsep iman-kafir, muslim-nonmuslim, dan baik-benar (truth claim), yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang Islam terhadap agama lain, mesti dibongkar agar umat Islam tidak lagi menganggap agama lain sebagai agama yang salah dan tidak ada jalan keselamatan. Jika cara pandangnya bersifat eksklusif dan intoleran, maka teologi yang diterima adalah teologi eksklusif dan intoleran, yang pada gilirannya akan merosak harmonisasi agama-agama, dan sikap tidak menghargai kebenaran agama lain. Kegagalan dalam mengembangkan semangat toleransi dan pluralisme agama dalam pendidikan Islam akan membangkitkan sayap radikal Islam." (14)

Dalam jurnal ini juga, Rektor UIN Yogyakarta, Prof. Dr. Amin Abdullah menulis:
"Pendidikan agama semata-mata menekankan keselamatan individu dan kelompoknya sendiri menjadikan anak didik kurang begitu sensitif atau kurang begitu peka terhadap nasib, penderitaan, kesulitan yang dialami oleh sesama mereka, yang kebetulan memeluk agama lain. Hal demikian bisa saja terjadi oleh kerana adanya keyakinan yang tertanam kuat bahawa orang atau kelompok yang tidak seiman atau tidak seagama adalah "lawan" secara aqidah. (15